Kamis, 08 Maret 2012

3 Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Menghadapi Sakratul Maut

1. Orang yang meninggalkan shalat akan menghadapi sakratul maut dalam keadaan hina.
2. Meninggal dalam keadaan yang sangat lapar.
3. Meninggal dalam keadaan yang sangat haus.

6 SIKSA DUNIA ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT FARDHU

Add caption
  • 1. Allah SWT mengurangi keberkatan umurnya.
  • 2. Allah SWT akan mempersulit rezekinya.
  • 3. Allah SWT akan menghilangkan tanda/cahaya shaleh dari raut wajahnya.
  • 4. Orang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai tempat di dalam islam.
  • 5. Amal kebaikan yang pernah dilakukannya tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
  • 6. Allah tidak akan mengabulkan doanya.

DOSA MENINGGALKAN SHALAT FARDHU

1. Shalat Subuh : satu kali meninggalkan akan dimasukkan ke dalam neraka selama 30 tahun yang sama dengan 60.000 tahun di dunia.
2. Shalat Zuhur : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan membunuh 1.000 orang umat islam.
3. Shalat Ashar : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan menutup/meruntuhkan ka’bah.
4. Shalat Magrib : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan berzina dengan orangtua.
5. Shalat Isya : satu kali meninggalkan tidak akan di ridhoi Allah SWT tinggal di bumi atau di bawah langit serta makan dan minum dari nikmatnya.

Hukum wajib menutup AURAT bagi Wanita Muslimah

Ibarat sebuah barang yang berharga maka akan diperlakukan secara khusus oleh pemiliknya, antara lain
dengan cara dikemas, dipak, dilapisi, dibungkus sedemikian rupa untuk menjaga agar barang tersebut
terkena goresan, rusak dan sebagainya. Misalnya kita membandingkan antara CD software asli yang
harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah dengan CD software bajakan. Dalam hal ini kita bisa
membedakan bungkus kemasan CD yang asli dengan yang bajakan. Contoh lain, dari benda yang berasal
dari batu. Kita bisa membedakan antara batu mulia dengan batu material jalan.
Tentu dalam hal ini kita tidak perlu memandang manusia sebagai diposisikan sama dengan benda.
Namun sedikitnya kita akan mengambil hikmah perumpamaan dari sisi kepatutan dan kesopanan
seseorang dari sudut normatis. Seekor burung merak jantan yang bulunya indah nan surgawi, tentu
akan tampak tidak menarik seandainya bulu-bulunya kita rontokkan semua, sehingga tampak bugil
tanpa busana, pasti mengerikan.

Dimensi aurat dalam pandangan Islam bukan hanya terfokus pada kaum wanita, kaum laki-laki pun
sama mempunyai kewajiban untuk membaguskan dandanannya di hadapan manusia. Allah SWT
berfiman :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan.
(QS. Al A’raf : 31)

Ayat ini menerangkan tentang kewajiban bagi kaum muslimin apabila hendak pergi beribadah ke masjid
baik untuk shalat, thawaf, maupun ibadah lainnya supaya mengenakan pakaian yang sopan. Dalam
pengertian yang lebih luas dapat disimpulkan bahwa berpakaian sopan itu merupakan ciri identitas
seorang muslim.

Dalam beberapa literatur fiqih dikatakan bahwa aurat laki-laki adalah bagian badan antara pusar perut
hingga lutut. Akan tetapi keterangan tersebut dapat diperlengkap dengan kandungan ayat 31 surat Al
A’raf di atas. Karena dalam ukuran akhlak kita ketika hendak beribadah yang hakikatnya menghadap
Allah SWT alangkah tidak sopan jika hanya mengenakan kain untuk menutupi daerah tersebut saja.
Dasar Hukum Hijab (pakaian penutup) bagi Wanita Muslimah
Allah SWT berfirman :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 59)

Sebuah isyarat yang sangat mencengangkan, jika kita mendalami makna yang terkandung pada ayat di
atas. Sepintas, bisa saja ada orang yang memahami ayat ini hanya dari sudut tekstual, yaitu dengan
menyimpulkan bahwa kewajiban mengenakan jilbab itu dikhususkan bagi istri-istri dan anak-anak
perempuan Nabi. Namun secara kontektual dapat dimaknai bahwa Nabi-Nabi Allah itu adalah public
figur, ketika menyuarakan dengan lantang, mengajak, menyeru umat, berdakwah untuk berbuat
kebajikan, menutup aurat, dan sebagainya. Maka umat yang diseru secara langsung akan melakukan
pengamatan balik kepada si penyeru tersebut, termasuk tidak luput terhadap keluarganya. Di samping
itu, sifat dan karakter Rasulullah SAW ketika menyerukan atau memerintahkan sesuatu, sebelum
perintah itu disampaikan kepada umatnya maka beliau selalu menjadi pelaku utama dan yang pertama
memberikan contoh bagi umatnya.

Dalam ayat di atas juga disebutkan adanya kalimat  (dan istri-istri orang mu’min), hal
ini memberikan penjelasan bahwa perintah mengenakan jilbab itu bukan hanya ditujukan kepada istriistri
dan anak-anak anak perempuan Nabi saja, melainkan seluruh wanita yang merasa dirinya beriman.
Jilbab dalam pengertian umum artinya selendang yang berfungsi menutup seluruh tubuh wanita di atas
pakaiannya (Ash-Shabuni). Sedangkan dalam penjelasan ayat 59 surat Al Ahzab disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan
dada. Dengan demikian, asumsi tentang jilbab yang kita temukan sehari-hari di kalangan muslimin
Indonesia sepertinya keliru. Sebab kondisi ini sepertinya sudah terlebih dahulu memasyarakat bahwa
jilbab itu artinya “kerudung”. Oleh karenanya, bisa jadi salah kaprah ketika wanita muslimah kita
mengenakan kerudung, sementara badan ke bawahnya mengenakan pakaian serba ketat. Maka hal ini
jelas bukanlah busana muslimah. Namun demikian pakaian seperti ini tentu akan mendapat poin ---
misalnya nilai lumayan--- daripada tidak sama sekali.

Sekali lagi, acapkali sudah menjadi budaya bangsa kita yang memasyarakatkan sebuah istilah keliru atau
diposisikan tidak pas dengan makna sebenarnya. Misalnya, pada saat era reformasi didengungkan maka
orang rame-rame orang menurunkan pejabat pemerintah yang dipandang tidak adil. Upaya
menurunkan pejabat pemerintah itu mereka sebut dengan isitilah “direformasi”. Sehingga masyarakat
awam berasumsi bahwa “direformasi” itu artinya “diturunkan” dari suatu jabatan. Dalam hal ini persis
seperti asumsi tentang istilah “jilbab” yang secara umum dipahami bahwa “jilbab” itu artinya kerudung
wanita. Para pedagang busana pun ikut-ikutan mempopulerkan istilah jilbab untuk barang dagangan
yang mereka maksudkan dengan kerudung.

Salah satu tujuan disyari’atkannya berjilbab adalah agar manusia mudah mengenali identitas muslimah
dibadingkan dengan wanita-wanita non muslim. Karena diterangkan dalam ayat lain bahwa wanitawanita
yang mempunyai karakter suka memamerkan lekuk tubuh dan perhiasannya itu adalah bagian
dari moralitas wanita-wanita jahiliyah. Sebagaimana firman Allah :

dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah (QS. Al Ahzab : 33)

Maka tatkala wanita-wanita muslimah berpakaian mini, ketat, pamer aurat, nyaris bugil, dan seterusnya
dapatlah dipastikan bahwa mereka sudah tidak lagi memiliki integritas dalam keyakinannya. Patutlah
dipahami bahwa nilai keimanan seseorang tidak bisa ditawar menawar, apalagi dengan urusan duniawi
yang harganya sangat murah.

Wanita-wanita non-muslimah meskipun tidak diperintahkan untuk berjilbab, akan tetapi tidak boleh
dibiarkan untuk merusak kultur masyarakat muslim yang dengan seenaknya pamer tubuh dan telanjang
di dalam komunitas muslim. Karena masih ada norma kesopanan yang tetap harus dijaga dalam status
sosial kita, apalagi bangsa Indonesia yang dengan adat ke-timur-annya memiliki adat dan budaya
tersendiri dalam tata pergaulannya. Di samping itu, kita sebagai umat Islam meyakini bahwa tak ada
satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan pada umatnya tentang bugil dan ketidaksopanan dalam
berbusana.
Dengan nada yang lebih tegas Asy Syaikh As Sayid Sabiq berkata bahwa yang membedakan antara
manusia dengan hewan adalah faktor pakaian dan alat-alat perhiasan. Allah SWT berfirman :

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al
A’raf : 26)

Pakaian dan perhiasan adalah dua aspek kemajuan dan peradaban kontemporer umat manusia.
Mengabaikan keduanya berarti kembali ke zaman primitif. Sedangkan hak milik wanita yang paling
utama adalah kemuliaan, rasa malu, kehormatan dan harga dirinya. Tak ada yang bisa menghargai diri
seseorang selain dirinya sendiri. Memelihara keutamaan-keutamaan ini berarti memelihara hakikat
martabat kemanusiawian seorang wanita dalam derajat yang paling luhur.
Berbusana muslimah harus didasari dengan kesadaran yang tulus sebagai manifestasi pancaran iman.
Jika berjilbab hanya didasarkan karena faktor lingkungan, pergaulan, atau ekses penilaian manusia
secara umum. Atau lebih bernuansa motivasi mode dan kepatutan, alasan menutup rambut yang tidak
ditata kecantikan, alasan karena rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban dan sebagainya. Maka jilbab
hanya berfungsi sebagai kedok kamuplase.
Takutlah kepada Allah, wahai saudariku. Tidak perlu merasa dipaksa hanya lantaran tuntutan
lingkungan, pergaulan suku dan kedaerahan. Karena berjilbab seperti itu tidak akan menjadi nilai ibadah
di hadapan-Nya. Yang pasti dari permainan sandiwara yang diperankan delam kehidupan seseorang,
bukanya akan membuat hidup seseorang menjadi lebih tenang, melainkan akan menyisakan rasa cape
yang tiada batas.

Sering kali kita menyaksikan beberapa tokoh wanita yang mencoba mengenakan jilbab pada acaraacara
yang bersifat insidental; antara lain ketika menarik simpati masyarakat, khusus pada forum-forum
tertentu agar tidak disangka bukan Islam, dan sebagainya. Sedangkan ketika mereka kembali pada
profesi dan komunitasnya, maka lepaslah jilbab itu. Na’uzubillah.

Persoalan hukum jilbab ini adalah bagian dari ruang lingkupnya hukum Allah. Tidak seorangpun yang
berhak melakukan opsi-opsian. Sehingga terjadilah pemungutan suara, alternatif pilihannya ada dua
antara setuju dengan tidak setuju. Hukum Allah itu tidak boleh dimasukan pada ranah hukum baru
produk manusia, apalagi melibatkan orang-orang yang tidak mengerti tentang syari’at sama sekali.
Sebab produk hukum manusia, jika tidak menemukan kata mufakat akan berakhir pada voting.
Sebut saja misalnya undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi. Atau undang-undang
perkawinan. Kedua macam hukum ini diperguncingkan hingga tidak pernah putus, soalnya pada
substansi kedua aturan perundang-undangan ini jelas mangandung tuntutan syari’at Allah. Sementara
itu, ketika aturan syari’at ditawarkan dengan opsi “setuju” dan/atau “tidak setuju” maka
konsekuensinya adalah utuh keimanan atau murtad??

imah'

Foto saya
balikpapan selatan, kalimantan timur, Indonesia
Ku awali dengan Bissmillah dan ku akhiri dengan Alhamdulillah :)